Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenang Nada Karya, Group Musik Legend Pandeglang

Foto: Abah Mus (kanan) bersama Mansyur S, di pantai Carita tahun 80-an silam (Pandeglang xyz)
Pandeglang - Menjadi musisi sudah jadi mimpi Tb. Muslihat sejak kecil. Lahir di Kampung Kebon Cau Ciwasiat pada tahun 1946, Abah Mus—begitu dia akrab disapa—mulai mengenal musik lewat alunan radio yang sering dia dengar semasa masih duduk di bangku sekolah dasar. Siapa sangka, dari hobi mendengarkan, dia beranjak dewasa dan mendirikan grup musik yang mengukir namanya dalam sejarah musik lokal Pandeglang.

Sambil menghisap rokok di malam pergantian tahun, ingatan Abah Mus melayang ke tahun 80-an. 

"Sekitar awal 80-an lah dibentuknya. Grup itu kami beri nama Nada Karya, aliran musiknya irama dendang Melayu atau dangdut kalau sekarang," tutur Abah Mus mengenang.

Nada Karya dibentuk oleh musisi lokal Pandeglang. Ada Bahrudin (bass) dari Kadupandak, Hamdi (mandolin), Trisno (alm) (gitar), Dirja (kendang), dan Abah Mus sendiri yang memainkan akordeon. Grup ini dipimpin oleh Mang Panji, seorang anggota DPRD. 

"Nada Karya itu grup musik Melayu yang pertama ada di Pandeglang," katanya.

Debut Nada Karya terjadi di panggung perayaan HUT RI di alun-alun Pandeglang. Kehadiran mereka langsung mencuri perhatian warga. Dengan vokalis wanita seperti Evi Susanti—yang menurut Abah mirip Camelia Malik—Nada Karya mulai mendapatkan jadwal manggung yang padat, dari acara Agustusan, hari libur nasional, hingga musim kawin.

Nada Karya sering tampil di alun-alun, halaman Kodim, hingga menjangkau kecamatan seperti Menes, Labuan, dan Cikeusik. 

"Pernah juga manggung di Binuangeun, Serang, sampai Cimahi waktu acara nikahan putri Ketua DPRD Pandeglang," cerita Abah.

Seiring waktu, Nada Karya membuka jalan bagi grup-grup lain seperti Adinda Brothers. Namun, karier Abah Mus tak berhenti di situ. Dia bergabung dengan Ramaloka Serang, membawa musiknya lebih jauh lagi. Bersama putrinya, Dewi Puspita, yang kemudian menjadi salahsatu artis utama Ramaloka, mereka manggung hingga Jakarta, Lampung Kalianda dan Bukit Kemuning.


Foto: Abah Mus Saat tampil bersama Ramaloka (Pandeglang xyz)

"Di era itu, apresiasi masyarakat Banten terhadap musik luar biasa. Para raja sawer seperti Chasan Sohib dan Satibi sering ‘ngaur’ uang bergepok-gepok ke biduan saat tampil," kata Abah Mus sambil tertawa kecil.

Hingga zaman berganti, Abah Mus tetap setia bermusik. Di saat usianya mendekati senja, ia masih tampil di acara-acara pernikahan dengan organ tunggal. 

"Ya, usia sudah tidak muda lagi, paling terakhir-terakhir itu main di acara kawinan," ujarnya menutup obrolan.

Perjalanan hidup Abah Mus adalah bukti bahwa mimpi bisa membawa seseorang melintasi batas ruang dan waktu. Dari Kebon Cau hingga Lampung, Nada Karya menjadi saksi dedikasinya pada musik. Bagi Abah Mus, musik bukan sekadar hiburan—ia adalah perjalanan hidup. (slang007)

Posting Komentar untuk "Mengenang Nada Karya, Group Musik Legend Pandeglang"